Cerita Anak Tanpa Konflik?

Disklaimer: kalian enggak perlu setuju, kok.

Pada suatu kesempatan, saya bilang kepada teman-teman sesama penulis cerita anak bahwa cerita tanpa konflik ternyata masih tetap menarik untuk dibaca.

“Tapi, ini menurut saya,” kata saya melanjutkan. “Kalau kalian ikut kelas menulis dan diminta membuat konflik, kalian jangan bilang ‘Ah, kata Kak Hadi enggak ada konflik enggak apa-apa!’”

Hehehe.

Setelah itu, saya pun memberikan beberapa contoh judul buku anak yang masih tetap menarik untuk dibaca meskipun tidak ada konflik di dalamnya.

Konflik adalah salah satu unsur yang terdapat dalam cerita. Fungsinya adalah agar membuat cerita menjadi menarik, menyebabkan ketegangan, menimbulkan dua kekuatan yang saling bertentangan, dan juga sangat bermanfaat bagi perkembangan karakter alias si tokoh cerita.

Ada yang bilang konflik adalah unsur terpenting dalam cerita. Tak ada konflik artinya tak akan ada cerita. Namun, benarkah seperti itu?

Saya pun teringat dengan salah satu struktur cerita tanpa konflik yang sering digunakan dalam cerita klasik China, Korea, dan Jepang: Kishōtenketsu. (Kalian bisa mencari tahu sendiri di Google mengenai hal ini).

Atau, cerita-cerita berusia tua seperti fabel Panca Tantra dan Fabel Aesop. Cerita-cerita fabel tersebut terjadi begitu saja, tanpa ada konflik di dalamnya, dan kita masih bisa tetap menikmatinya.

Jadi, menurut saya, cerita tetap sah menjadi cerita dengan atau tanpa konflik di dalamnya.

Dr. Matthew Salesses, seorang profesor penulisan kreatif, pernah mengeluh saat putrinya diminta menulis cerita yang harus mengandung konflik di dalamnya. “Are we teaching our kids to make stories or are we teaching our kids to make conflict?” tanyanya.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More Articles & Posts

Avatar Noor H. Dee

Noor H. Dee adalah editor dan penulis buku anak yang kurang terkenal gitu deh.