Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini muncul begitu saja saat saya sedang mengendarai sepeda motor di bawah terik sinar matahari. Beberapa jawaban membuat saya tersenyum. Beberapa jawaban membuat saya merenung. Beberapa jawaban lagi — yang semuanya belum tentu benar — membuat saya menduga-duga: akankah dunia ini akan tampak sama jika cerita anak tak pernah ada?
Mungkin, jika cerita anak tak pernah ada, John Newberry akan menjadi seorang penjual obat seumur hidup. Dia tidak akan pernah menulis buku The History of Little Goody Two-Shoes (1765), yang diklaim sebagai novel anak pertama di dunia. Tentu saja penerbit John Newberry — yang dianggap sebagai pelopor penerbitan buku-buku anak yang menghibur karena sebelumnya buku-buku anak melulu berisi instruksi dan petuah-petuah kering — tidak akan pernah menerbitkan buku-buku yang kemasannya begitu menarik dan menggemaskan bagi para pembaca muda saat itu. Penghargaan Newberry Medal pun akan bernasib sama: tidak akan pernah ada. Bagaimana mungkin bisa memberikan penghargaan jika cerita-cerita anak tidak pernah dituliskan?
Sekarang, mari kita mundur jauh ke belakang, ke masa ketika Aesop masih hidup. Apa yang akan Aesop lakukan jika cerita anak tidak pernah ada? Mungkin dia selamanya akan menjadi seorang budak dan tidak pernah sekalipun membuat cerita fabel yang begitu satir dan memiliki pesan moral yang sering membuat kita tersindir. Kita tidak akan mengenal istilah “serigala berbulu domba” untuk menggambarkan sosok penjahat sadis berpenampilan manis, sebab istilah itu berasal dari salah satu judul fabelnya yang cukup terkenal. Jika Aesop tidak pernah menulis fabel, mungkin kita tidak bisa membayangkan tentang sebuah dunia tempat hewan-hewan bisa berbicara dan berperilaku seperti layaknya manusia. Dan, ini yang menurut saya paling penting, jika fabel Aesop tidak pernah ada, saya tentu tidak akan mungkin bisa menghadirkan Fabel Mini kepada para pembaca.
Begitu juga dengan penulis-penulis cerita anak terkenal lainnya. Jika cerita anak tak pernah ada, mungkin Lewis Carrol akan selamanya menjadi seorang ahli matematika dan selalu fokus dengan dunia logika dan angka-angka. HC Andersen mungkin akan menjadi novelis dewasa yang hanya terkenal di negerinya sendiri. Road Dahl mungkin hanya akan menjadi seorang pensiunan letnal kolonel angkatan udara. A.A. Milne mungkin hanya akan menjadi tentara dalam unit propaganda rahasia. Astrid Lindgren, Enid Blyton, dan J.K. Rowling bagaimana? Astrid akan menjadi jurnalis antifasisme dan Pipi Si Kaus Kaki Panjang tidak pernah ada di dunia. Enid akan menjadi seorang anak kecil brokenhome dan kisah petualangan Lima Sekawan tidak akan pernah kita baca. Rowling akan menjadi juru ketik di gereja dan tak ada kisah penyihir Harry Potter di antara kita.
Begitu pula yang akan terjadi dengan penulis-penulis cerita anak di Indonesia. Mungkin almarhum Drs. Suyadi atau Pak Raden akan menjadi pelukis sampai akhir hayatnya, Murti Bunanta tidak akan menjadi Doktor pertama dari UI yang meneliti sastra anak sebagai disertasinya, Imran Laha menjadi pemain teater, Reda Gaudiamo menjadi musisi saja, Dian Onasis selamanya menjadi dosen, Iwok Abqary menjadi pencinta kucing dan bunga-bunga, dan seterusnya — saya tidak mungkin menyebut satu-persatu penulis cerita anak Indonesia karena jumlahnya ada banyak banget.
Itu baru nasib penulis cerita anak. Bagaimana dengan nasib anak-anak itu sendiri? Apa yang akan terjadi kepada mereka jika cerita anak tidak pernah ada?
Seperti kita tahu bersama. Anak-anak hidup di ruang yang terbatas. Dunia mereka hanyalah orangtua dan rumah. Langkah-langkah mereka yang kecil tak akan pernah mampu melakukan perjalanan besar bahkan untuk sekadar melompat pagar.
Itu sebabnya, para ahli menyarankan agar anak-anak sering membaca cerita. Dengan cerita, anak-anak akan dibawa ke tempat-tempat yang jauh, ke sebuah tempat yang bahkan tidak pernah tercatat di dalam sejarah peta dunia. Mereka akan melakukan petualangan di tengah lautan, berlayar di tengah badai, menyusuri lorong-lorong tikus yang gelap dan menegangkan, dan juga meluncur bersama burung-burung menembus awan.
Saat membaca cerita, anak-anak juga akan bertemu dengan beragam tokoh cerita yang luar biasa, mulai dari manusia sampai hewan yang kerap hidup di hutan, mulai dari yang baik hati sampai yang jahat dan licik, sehingga mereka akhirnya menyadari bahwa di dunia ini ternyata ada beragam watak dan sifat sehingga mereka akan belajar bagaimana cara menghadapinya.
Para peneliti juga menemukan fakta bahwa anak-anak yang sering membaca cerita akan lebih mudah untuk memahami orang lain. Kemampuan mereka untuk berempati lebih besar ketimbang mereka yang tidak membaca cerita. Dari setiap cerita yang mereka baca, dari setiap tokoh cerita yang mereka perhatikan, dari setiap situasi cerita yang mereka ikuti, pada akhirnya membuat mereka memiliki kemampuan untuk memahami betapa orang lain ternyata memiliki pemikiran dan perasaan yang berbeda sehingga mereka akan bisa cukup terbuka dan lebih menghargai saat perbedaan tersebut mereka temui di kehidupan nyata.
Intinya, pada saat usia mereka masih sangat muda dan memang sedang ingin memahami dunia, cerita akan mengajarkan kepada mereka bagaimana sebenarnya dunia ini bekerja.
Jadi, apa yang akan terjadi kepada anak-anak jika cerita anak tidak pernah ada untuk mereka? Kalian tentu bisa membayangkannya sendiri.
Tinggalkan Balasan