Setelah membaca tulisan “Semua Orang Konon Gemar Sastra, tapi Siapa Peduli Sastra Anak?”, dengan semangat sok tahu saya menduga-duga: jangan-jangan, sebelum membuat tulisan tersebut, penulis sempat terpeleset plastik bekas gorengan, jatuh ke dalam portal waktu, lantas melesat ke masa sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu — masa ketika sastra anak di Indonesia memang masih belum keren-keren amat.
Sebab, jujur saja, jika tulisan Sayyidatul Imamah tersebut terbit sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu, saya akan menjadi pembaca pertama yang mengangguk setuju dan menganggap betapa tulisan tersebut memang benar adanya dan sama sekali tidak ada keraguan di dalamnya. Kebanyakan sastra anak di Indonesia saat itu memang “masih begitu-begitu saja”.
Namun, sayangnya, tulisan tersebut terbit pada tahun 2022, tahun ketika sastra anak di Indonesia sudah mengalami begitu banyak perkembangan yang bisa dibilang cukup signifikan. Jadi, alih-alih setuju dengan tulisan tersebut, saya malah ingin berbisik kepada penulisnya, “Hey … selama ini kamu ke mana saja?”
Namun, apa itu sastra anak?
Dalam buku Essential of Children’s Literature, dikatakan bahwa “Children’s literature is good-quality trade book for children from birth to adolescence, covering topic of relevance to children of those age, through prose and poetry, fiction and non-fiction” (Lynch-Brown dan Tomlinson, 1999: 2).
Sementara itu dalam buku Pedoman Penelitian Sastra Anak, dikatakan bahwa “sastra anak adalah sastra yang dibaca anak-anak dengan bimbingan dan pengarahan anggota dewasa suatu masyarakat, sedang penulisannya juga dilakukan oleh orang dewasa” (Toha-Sarumpaet, 2010: 2).
Meskipun saya belum tahu apakah kata “literature” bisa disamaartikan dengan kata “sastra”, setidaknya ada kesamaan definisi dalam children’s literature dan sastra anak, yaitu bacaan untuk anak — baik prosa maupun puisi, baik fiksi maupun nonfiksi.
Berbicara soal sastra anak atau bacaan untuk anak di Indonesia, sekali lagi saya akui, bahwa sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu sastra anak di Indonesia kebanyakan memang tidak begitu menarik dan membosankan — baik dari segi tema yang itu-itu saja, teks yang terlalu panjang tanpa peduli jenjang usia dan kemampuan membaca anak, ilustrasi yang sekadar tempelan tanpa usaha untuk mengembangkan isi cerita, hingga kemasan yang cenderung seragam tanpa ada usaha untuk melakukan kebaruan.
Namun, jika saat ini sastra anak di Indonesia masih dianggap sama dengan sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu, jelas saya tidak sepakat. Sebab, jika diibaratkan sebagai seekor ulat, sastra anak di Indonesia saat ini sudah mulai bermetamorfosa menjadi seekor kupu-kupu yang cantik, yang sepasang sayapnya mulai mengepak dengan begitu indah.
Itu sebabnya, saya ingin tahu, atas dasar apa Sayyidatul Imamah membuat tulisan seperti itu? Apakah berdasarkan riset atau hanya berdasarkan asumsi kosong tanpa data?
Dari mana dia bisa menyimpulkan bahwa sastra anak “…diurus oleh beberapa orang yang menganggap dirinya mampu menulis sastra anak dengan asumsi bahwa menulis sastra anak itu mudah.”?
Sejauh pengetahuan dan pengalaman saya bergelut di dunia bacaan anak di Indonesia, tak pernah saya mendapati seorang penulis buku anak yang menganggap bahwa menulis sastra anak itu mudah. Bahkan, mereka menganggap sebaliknya: menulis cerita anak itu sulit.
Selain itu, saya juga penasaran, kenapa Sayyidatul Imamah bisa mengatakan bahwa “Sastra anak Indonesia hari ini bahkan sudah bersandar pada terjemahan. Saking sulitnya menemukan penulis yang mau menulis sastra anak di Indonesia, lebih mudah menerjemahkan sastra anak dari luar negeri dan menyuapkannya kepada anak-anak.”
Begitu sulitkah menemukan penulis yang mau menulis sastra anak di Indonesia, sehingga harus bersandar pada terjemahan? Apakah dia belum mengenal Iwok Abqary yang telah menulis picturebook Seri Sepatu Dahlan yang begitu indah? Apakah dia belum mengenal Andina Subarja yang telah menulis picturebook Kejutan Kungkang yang begitu jenaka? Apakah dia belum mengenal Tyas Widjati yang telah menulis novel anak Di Bawah Negeri Irlandia yang begitu gelap, metaforis, dan imajinatif? Apakah dia belum mengenal Ary Nilandari yang telah menulis Garuda Gaganeswara, sebuah novel-puisi yang telah mendapatkan penghargaan internasional?
Jika belum, apa boleh buat, sepertinya Sayyidatul Imamah membuat tulisan tersebut memang untuk dirinya sendiri. Dia belum cukup peduli dengan sastra anak di Indonesia, belum mengetahui apa-apa saja yang sudah terjadi di dalam dunia bacaan anak di Indonesia, sehingga dia mengajukan sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah dijawab sejak lama: “Siapa peduli terhadap sastra anak?” Jawabannya: banyak yang peduli dan sudah banyak yang melakukan sesuatu demi kemajuan dan perkembangan sastra anak di Indonesia.
Jadi, jika kita pergi ke toko buku dan mampir ke rak buku anak, kita tidak akan lagi menjumpai buku anak yang melulu bercerita tentang seorang gadis bernama Bawang Putih yang dijahati kakak dan ibu tirinya.
Sebab, sastra anak di Indonesia saat ini tidaklah semenyedihkan itu.
Tinggalkan Balasan