Apa betul bacaan anak tidak layak disebut sastra? Apa betul bacaan anak tidak memiliki estetika yang setara dengan karya sastra? Apa betul bacaan anak hanya sekadar bacaan anak yang hanya digunakan agar anak gemar membaca? Apa betul bacaan anak tidak memiliki kecanggihan teknis penulisan seperti karya sastra? Apa betul bacaan anak tidak akan mampu memiliki kedalaman makna sebagaimana karya sastra pada umumnya, yang konon sangatlah dalam, yang konon saking dalamnya sampai-sampai tak akan ada seorang pun yang sanggup memahaminya?
Di igauan ini saya hanya ingin bertanya dan terus bertanya dan akan selalu terus bertanya sampai saya memiliki alasan untuk berhenti melakukannya.
Lalu, saya teringat bacaan anak yang berjudul “Banana” karya Ed Vere. Buku setebal 32 halaman itu hanya berisi kata “Banana” saja di beberapa halaman (di tambah kata “Please” sebanyak dua kali). Setelah membaca buku tersebut, saya langsung berkomentar, “Edan! Keren banget.”
Alasan saya berkata seperti itu adalah karena Ed Vere telah mampu merangkai sebuah cerita hanya dengan satu kata! (iya ada dua kata deh). Cerita, konon katanya, adalah rangkaian peristiwa sebab akibat dari awal sampai akhir. Sang tokoh mengalami peristiwa dan peristiwa tersebut melahirkan peristiwa-peristiwa berikutnya yang saling berhubungan, yang pada akhirnya sang tokoh mengalami perubahan dalam hidupnya. Buku “Banana” memiliki cerita, memiliki konflik, dan memiliki makna — meskipun ditulis hanya dengan satu kata! (iya ada dua kata deh).
Jika buku “Banana” karangan Ed Vere tidak layak dianggap karya sastra hanya karena buku itu adalah bacaan anak, saya angkat tangan, deh. Mungkin karya sastra memang hanya untuk karya-karya yang sangat-sangat estetik, sangat-sangat canggih, sangat-sangat dalam, sangat-sangat tinggi — dan bacaan anak tidak akan pernah mampu mencapai itu semua sampai kapan pun.
Tinggalkan Balasan