Sejak berkutat di dunia penulisan kreatif, khususnya fiksi, saya sering mendengar istilah “fiksi itu harus logis.” Maksudnya, apa pun yang terjadi di dalam cerita fiksi haruslah masuk akal. Segala hal yang tertulis harus memiliki alasan. Mulai dari penokohan, plot, latar, bahkan sampai dialog antar tokoh pun harus dipikirkan secara matang sebelum akhirnya dieksekusi menjadi sebuah cerita yang utuh.
Logika fiksi bisa dibilang sangat ketat. Jika di dunia fakta kita terkadang melihat atau mendengar kisah-kisah yang tidak masuk akal — seperti kisah batu Ponari, misalnya, di dunia fiksi hal itu tidak boleh terjadi. Semua cerita fiksi harus berlandaskan logika fiksi yang telah teruji. Intinya, kalau cerita fiksi kamu tidak beres di tataran logika, berarti ceritamu buruk alias amburadul. Revisi, tulis ulang, atau buang sekalian dan buatlah cerita yang lebih baru, yang lebih masuk akal, yang lebih logis. Titik.
Logika di dalam dunia fiksi tentu berbeda dengan logika di dalam dunia nyata. Remaja yang bisa menjadi manusia laba-laba dan hidung boneka kayu yang bisa memanjang ketika berbohong adalah logis dan sah-sah saja dalam cerita fiksi. Semua hal itu bisa saja terjadi. Hanya saja, hal tersebut harus memiliki alasan yang jelas kenapa semua keajaiban itu bisa terjadi. Karena digigit laba-laba di laboratorium, seorang remaja akhirnya menjadi manusia laba-laba. Karena diberi kekuatan oleh peri, sesosok boneka kayu hidungnya bisa memanjang ketika berbohong. Kira-kira semacam itu.
Namun, setelah saya mulai fokus dan mulai aktif di dunia penulisan cerita anak, saya mulai bertanya-tanya: apakah hukum “fiksi harus logis” masih berlaku di dalam dunia cerita anak? Apakah logika fiksi dalam cerita anak juga harus seketat itu?
Pada mulanya saya berpendapat demikian. Logika fiksi yang terdapat di dalam cerita dewasa tidaklah berbeda dengan yang terdapat di dalam cerita anak. Sama-sama harus logis, masuk akal, dan tidak boleh sembarangan.
Setiap kali seseorang meminta pendapat saya mengenai cerita anak yang baru dikarangnya, hal pertama yang saya pertanyakan adalah kelogisan yang terdapat di dalam cerita tersebut: mengapa tokohnya menginginkan hal itu? Mengapa bukan yang lain? Bukankah ia masih bisa melakukan hal yang lain meskipun ia memutuskan untuk melakukan hal itu? Pertanyaan-pertanyaan yang jika diberi jawaban akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru yang mungkin saja bisa membuat si penulis berpikir akan memukul kepala saya karena kecerewetan saya.
Sampai akhirnya, pada suatu hari, saya pun mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri, “Emang iya cerita anak harus selogis itu? Harus memiliki alasan yang jelas? Emang enggak boleh ya kalau ceritanya asal mengalir aja tanpa perlu dilogis-logiskan? Bukankah cerita anak yang terlampau logis itu akan terasa kering dan kurang membebaskan — yang tentu saja jadi kurang menyenangkan?”
Lantas, saya teringat The Giving Tree-nya Shel Silverstein. Bukankah di cerita tersebut Om Shel sama sekali tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengapa si tokoh cerita bisa bersahabat dengan pohon? Apa yang membuat mereka begitu akrab? Bukankah aneh jika seorang anak laki-laki yang biasanya lebih akrab dengan mainan malah memilih untuk akrab dengan sebatang pohon? Namun, meskipun tanpa ada penjelasan sama sekali mengenai hal itu, kita para pembaca masih bisa menikmati cerita tersebut dengan sangat khusyuk dan bahkan bisa merasakan betapa cerita The Giving Tree itu cukup kuat, memiliki makna yang begitu dalam, dan bisa menjadi bahan perenungan yang sangat kontemplatif untuk kita jadikan bahan pelajaran dalam kehidupan.
Begitu juga dengan buku karya Oliver Jeffers yang berjudul Lost and Found. Akang Oliver juga tidak memberikan alasan yang jelas mengapa penguin itu mendatangi rumah si bocah laki-laki? Mengapa bukan ke rumah anak-anak yang lain? Alasannya apa? Mengapa penguin merasa kesepian? Mengapa bocah laki-laki itu tahu bahwa penguin merasa kesepian? Pengetahuan itu ia dapat dari mana? Terus, mengapa si bocah laki-laki bisa membuat perahu sendiri, berlayar di lautan luas, dan menghadapi ombak dan badai selama berhari-hari? Namun, cerita tentang bocah laki-laki dan penguin itu masih sangat menghibur, lucu, dan juga sangat menghangatkan hati.
Belum lagi buku-buku seperti Alice in the Wonderland, The Little Prince, dan cerita-cerita anak lainnya yang menurut saya logika fiksinya ternyata tidak ketat-ketat amat.
Begitulah. Akhirnya saya sampai pada titik kesimpulan bahwa logika fiksi memang cukup diperlukan untuk dapat membangun sebuah dunia cerita yang bisa dipercaya, tapi ya jangan dipaksa untuk logis-logis amat. Karena, menurut saya, sebuah cerita anak bisa menjadi begitu memukau bukan karena ia memiliki logika fiksi yang sudah sangat beres dan terukur, melainkan karena ia menawarkan kepada pembaca sebuah keajaiban yang begitu menakjubkan, keanehan yang begitu menggemaskan, dan keseruan yang begitu mendebarkan.
Tinggalkan Balasan